Mungkin engkau pernah mendengar
atau membaca hadits Abu Dzar Al-Ghifari radhiyallahu ‘anhu yang
menyebutkan sabda sang Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam:
اتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
“Bertakwalah kepada Allah di mana saja engkau berada. Susullah kejelekan
dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapuskan kejelekan
tersebut, dan bergaullah dengan manusia dengan akhlak yang baik.” (HR.
Ahmad 5/135, 158, 177, At-Tirmidzi no. 1987, dan selain keduanya.
Dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahihul Jami’ no. 97
dan di kitab lainnya)
Hadits ini, kata Asy-Syaikh Al-’Allamah Abdurrahman ibnu Nashir As-Sa’di
rahimahullahu merupakan hadits yang agung. Di dalamnya, Rasul yang
mulia Shallallahu ‘alaihi wasallam mengumpulkan hak Allah Subhanahu wa
Ta’ala dan hak hamba-hamba-Nya. Hak Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap
hamba-Nya adalah agar mereka bertakwa kepada-Nya dengan sebenar-benar
takwa. Mereka berhati-hati dan menjaga diri agar tidak mendapat
kemurkaan dan azab-Nya, dengan menjauhi perkara-perkara yang dilarang
dan menunaikan kewajiban-kewajiban. Wasiat takwa ini merupakan wasiat
Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada orang-orang terdahulu maupun
belakangan. Sebagaimana takwa merupakan wasiat setiap rasul kepada
kaumnya, di mana sang rasul menyerukan:
أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاتَّقُوهُ
“Beribadahlah kalian kepada Allah dan bertakwalah kepada-Nya.” (Nuh: 3)
Tentang perangai orang yang bertakwa ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala sebutkan antara lain dalam firman-Nya berikut ini:
لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ
وَالْمَغْرِبِ وَلَـكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ
الْآخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ
عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ
السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى
الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا وَالصَّابِرِينَ
فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ أُولَـئِكَ الَّذِينَ
صَدَقُوا وَأُولَـئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ
“Bukanlah menghadapkan wajah kalian ke arah timur dan barat itu suatu
kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu adalah beriman kepada
Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan
memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim,
orang-orang miskin, ibnu sabil, dan orang-orang yang meminta-minta, dan
memerdekakan hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, dan
orang-orang yang menepati janjinya apabila mereka berjanji dan
orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam
peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar imannya dan mereka
itulah orang-orang yang bertakwa.” (Al-Baqarah: 177)
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا
السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ .الَّذِينَ
يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ
وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“Dan bersegeralah kalian kepada ampunan dari Rabb kalian dan kepada
surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan untuk
orang-orang yang bertakwa. Yaitu orang-orang yang menafkahkan hartanya,
baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan
amarahnya dan memaafkan kesalahan orang lain. Allah mencintai
orang-orang yang berbuat kebajikan. (Ali ‘Imran: 133-134)
Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan sifat orang-orang yang bertakwa
sebagai orang yang beriman dengan pokok-pokok keimanan (rukun iman),
keyakinan-keyakinan, dan amal-amalnya, baik secara zhahir maupun batin,
dengan menunaikan ibadah-ibadah badaniyah (yang dilakukan tubuh) dan
maliyah (ibadah dengan harta). Orang yang beriman adalah orang yang
sabar di dalam kesulitan dan kesempitan, memaafkan manusia, menanggung
gangguan dari mereka dengan tabah dan justru berbuat baik kepada mereka.
Orang-orang yang bertakwa adalah mereka yang bersegera meminta ampun
dan taubat manakala mereka terjatuh ke dalam perbuatan keji atau
menzalimi diri mereka sendiri.
Dalam hadits Abu Dzar di atas, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
mewasiatkan agar seorang hamba terus-menerus bertakwa di mana saja ia
berada, di setiap waktu dan setiap tempat, serta dalam segala
keadaannya. Kenapa demikian? Karena si hamba sangat butuh kepada takwa,
tak pernah bisa lepas darinya. Bila sampai lepas, ia akan binasa.
Namun yang namanya manusia pasti ada kekurangannya dalam menjalankan
hak-hak dan kewajiban-kewajiban takwa. Maka Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam memerintahkan untuk melakukan perkara yang dapat
memberishkan cacat tersebut dan menghilangkannya. Yaitu, bila sampai si
hamba jatuh dalam kejelekan maka ia bersegera menyusulnya dengan hasanah
(kebaikan).
Hasanah sendiri adalah nama dari segala perbuatan yang dapat mendekatkan
seorang hamba kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hasanah yang paling
agung yang dapat menolak kejelekan adalah taubat nasuha, istighfar dan
inabah (kembali) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan mengingat dan
mencintai-Nya, takut dan berharap kepada-Nya, serta berambisi untuk
meraih keutamaan-Nya setiap waktu.
Termasuk hasanah yang dapat menolak kejelekan adalah memaafkan manusia,
berbuat baik kepada makhluk Allah Subhanahu wa Ta’ala, menolong orang
yang sedang ditimpa musibah, memberikan kemudahan bagi orang yang
kesulitan, menghilangkan kemadharatan dan kesempitan dari hamba-hamba
Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ
“Sesungguhnya kebaikan-kebaikan itu akan menghapuskan kesalahan-kesalahan.” (Hud: 114)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
الصَّلَوَاةُ الْخَمْسُ وَالْجُمْعَةُ إِلى الْجُمْعَةِ وَرَمَضَانُ إِلى
رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ لِمَ بَيْنَهُنَّ مَا اجْتُنِبَتِ الْكَبَائِرُ
“Shalat yang lima, Jum’at ke Jum’at, dan Ramadhan ke Ramadhan, merupakan
penghapus kesalahan yang dilakukan di antaranya, selama dijauhi
dosa-dosa besar.” (HR. Muslim no. 223)
Banyak lagi dalil lain yang menunjukkan diperolehnya ampunan berkat amalan ketaatan.
Musibah yang menimpa seorang hamba juga merupakan penghapus kesalahan.
Karena tidaklah seorang mukmin ditimpa kesedihan, gundah gulana, sakit
bahkan sekadar tertusuk duri melainkan Allah Subhanahu wa Ta’ala akan
menghapuskan kesalahan-kesalahannya. Sebagaimana dikabarkan dalam hadits
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari (no.
5641) dan Muslim (no. 2753).
Musibah itu bisa berupa hilangnya sesuatu yang dicintai, atau terkena
sesuatu yang dibenci pada tubuh, hati ataupun harta, baik yang sifatnya
di dalam maupun di luar. Musibah ini bukan sengaja dilakukan hamba
terhadap dirinya. Karena itulah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
memerintahkan seorang yang tertimpa musibah untuk melakukan amalan yang
merupakan perbuatannya, dilakukan dengan kesadarannya, yaitu menyusul
kejelekan yang terlanjur dilakukan atau kejelekan yang menimpa dirinya
dengan kebaikan.
Pada akhirnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berpesan, “Bergaullah dengan manusia dengan akhlak yang baik.”
Akhlak baik terhadap manusia yang pertama adalah menahan diri dari
mengganggu mereka dari segala sisi. Memaafkan keburukan mereka dan
gangguan mereka terhadapmu, kemudian engkau bermuamalah dengan mereka
dengan muamalah yang baik dalam ucapan maupun perbuatan. Termasuk akhlak
baik yang paling khusus adalah sabar menghadapi mereka, tidak jenuh
dengan mereka, berwajah cerah, berkata lembut, berucap indah yang
menyenangkan teman duduk, memberikan kegembiraan pada teman,
menghilangkan rasa tidak enak di hati mereka, dan terkadang memberikan
gurauan jika memang ada maslahat. Akan tetapi tidak sepantasnya banyak
bergurau atau guyonan. Karena bercanda dalam ucapan seperti garam pada
makanan. Kalau tidak ada garam, makanan terasa hambar, namun bila
terlalu banyak makanan menjadi asin. Dengan demikian, bila bercanda ini
tidak ada atau sebaliknya melebihi batasan, maka menjadi tercela.
Termasuk akhlak yang baik adalah bergaul kepada manusia dengan apa yang
pantas bagi mereka dan sesuai dengan keadaannya, dengan memandang apakah
orang yang diajak bergaul itu masih kecil atau sudah besar, berakal
atau terbelakang, seorang alim ataukah orang yang jahil/bodoh.
Sungguh, siapa yang bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala,
merealisasikan takwanya dan bergaul baik kepada manusia dengan perbedaan
tingkatan mereka berarti ia telah mencapai kebaikan secara keseluruhan,
karena ia telah menegakkan hak Allah Subhanahu wa Ta’ala dan hak para
hamba. Juga karena ia termasuk orang yang berbuat ihsan dalam beribadah
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan berbuat ihsan terhadap hamba-hamba
Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
(Dinukil Ummu Ishaq Al-Atsariyyah dari kitab Bahjatu Qulubil Abrar wa
Qurratu ‘Uyunil Akhyar fi Syarhi Jawami’il Akhbar, karya Al-’Allamah
Abdurrahman ibnu Sa’di rahimahullahu, hal 48-50)
Sumber: Majalah Asy Syariah No.53/V/1430 H/2009 halaman 89 s.d. 91
http://akhwat.web.id/muslimah-salafiyah/akhlak-adab/bergaul-dengan-akhlak-yang-baik/#more-2377
0 komentar :
Posting Komentar